Ini adalah kisah seorang penderita fobia sosial di bandung hingga ia akhirnya dapat sembuh.
Saya akan menceritakan mengenai fobia sosial yang saya miliki dan bagaimana cara saya sembuh dari phobia itu. Sebelumnya saya akan menceritakan gambaran diri saya. Saya termasuk orang yang pendiam, saya hanya mengobrol dengan orang yang memang saya kenal baik. Karena itu saat SMP & SMA, saya hanya mengenal orang-orang yang sekelas dengan saya. Bahkan untuk mengenal seluruh teman dalam 1 kelas, saya bisa membutuhkan waktu 6-9 bulan. Akibatnya terkadang saya dibilang sombong. Tapi ada juga yang bilang saya justru cool saking pendiamnya.
Saat SMA, setap kali ada tugas presentasi, saya benar-benar panik setengah mati! Padahal guru cuma baru bilang kalau nanti di akhir semester ada presentasi, namun di awal semester saya sudah lemas membayangkannya. Perasaan saya benar-benar tidak enak dan tidak nyaman. Rasanya pengen pindah ke sekolah yang nggak pakai tugas presentasi. Ketika saya presentasi, saya amat sangat panik sekali, keringat bercucuran, seluruh tubuh gemetaran, alhasil bahkan saya sampai tidak tahu apa yang sedang saya bicarakan karena mulut saya berbicara namun pikiran saya justru merasakan ketakutan yang amat sangat.
Padahal dulu, sewaktu TK, saya percaya diri setengah mati, setiap ada lomba saya ikuti, begitu juga saat di sekolah dasar. Ketika tampil di depan umum, justru saya merasa senang dan bangga. Saya merasakan kalau terjadi sesuatu yang berbeda pada diri saya ketika kelas 5 SD. Saya tidak terlau ingat, tapi pokoknya saya disuruh maju ke depan (kalau tidak salah untuk menyanyikan lagu nasional). Dan itulah pertama kalinya saya ketakutan. Saat kelas 6 SD, saya diminta guru saya untuk memberikan sambutan pada saat pelepasan siswa angkatan saya sendiri, dan saat itupun saya merasakan begitu ketakutan saat berada di depan hadirin.
Entahlah, saya sendiri tidak tahu mengapa tiba-tiba saya seperti itu. Berawal dari situ, saya merasa semakin tidak percaya diri bila harus tampil dihadapan umum. Sehingga saya lebih memilih agar saya tidak mengundang perhatian orang lain. Saat SMP dan SMA, perasaan itu tetap ada di benak saya dan begitu mengganggu saya. Di satu sisi, sungguh sebenarnya saya ingin sekali memiliki banyak teman, namun ada perasaan yang sulit dijelaskan yang membuat saya lebih memilih untuk diam sehingga sulit sekali bagi saya untuk mengenal orang lain.
Saat kelas 3 SMA, ada tes presentasi menggunakan bahasa inggris di depan kelas, dan saya gagal sehingga saya disuruh untuk mengulang lagi setelah semua murid maju presentasi. Saya sudah menghafalkan mati-matian apa yang akan saya presentasikan, dan begitu berada di depan, semua kata-kata itu lenyap, menguap, dan yang ada dipikiran berubah menjadi ketakutan yang tidak jelas apa penyebabnya.
Perasaan takut itu begitu unik, tubuh, tangan, dan kaki saya gemetaran tanpa bisa saya kendalikan sedikitpun. Bahkan saya kurang mengerti dengan apa yang saya takutkan.
Ketika itu saya menceritakan masalah yang saya alami pada orang tua dan saya bilang bahwa saya ingin ikut hipnoterapi karena saya berpikir bahwa nantinya ketika kuliah, tentu akan jauh lebih banyak presentasi-presentasi di depan kelas. Maka, orang tua saya mencari-cari hipnoterapis, dan akhirnya kami menemukan hipnoterapis yang ada di Semarang. Sebenarnya ia adalah dokter spesialis kejiwaan (psikeater) namun ia juga mendalami ilmu hipnotis untuk memberikan hipnoterapi pada pasiennya.
Ketika bertemu dengan dokter tersebut, saya dinyatakan menderita phobia social. Apa itu?
Phobia social merupakan suatu bentuk ketakutan yang tidak masuk akal akan penghinaan publik atau malu. Orang dengan phobia social mungkin menghindari melakukan kegiatan di masyarakat misalnya berbicara di depan publik. Mereka merasa takut bila orang yang tidak mereka kenal itu menghakimi mereka dan menyebabkan kecemasan. Paling umum phobia social berkembang antara awal masa remaja sampai usia 25 tahun (Schneier et al., 1992).
Setelah mengetahui bahwa saya mengidap phobia social, saya meminta sang dokter untuk melakukan hipnoterapi. Namun, dalam waktu seminggu dari saat itu, saya akan pergi ke Bandung untuk mengikuti USM-2 ITB. Kemudian dokter itu menjelaskan, bahwa memang bisa saja ia menghipnotis saya saat itu dan menghilangkan phobia social saya saat itu juga, namun efek itu hanyalah bersifat sementara. Untuk menghilangkan phobia social di kemudian hari, tidak bisa hanya dilakukan dengan sekali terapi saja, karena memprogram ulang apa yang ada di batin bawah sadar tidak semudah membalik telapak tangan. Sehingga saya akan perlu melakukan beberapa terapi. Karena tidak mungkin bila saya nantinya harus bolak-balik Bandung-Semarang untuk melakukan terapi, saya dirujuk pada kenalan dokter itu yang ada di Bandung. Ia juga seorang dokter kejiwaan yang juga mendalami hipnoterapi.
Padahal dulu, sewaktu TK, saya percaya diri setengah mati, setiap ada lomba saya ikuti, begitu juga saat di sekolah dasar. Ketika tampil di depan umum, justru saya merasa senang dan bangga. Saya merasakan kalau terjadi sesuatu yang berbeda pada diri saya ketika kelas 5 SD. Saya tidak terlau ingat, tapi pokoknya saya disuruh maju ke depan (kalau tidak salah untuk menyanyikan lagu nasional). Dan itulah pertama kalinya saya ketakutan. Saat kelas 6 SD, saya diminta guru saya untuk memberikan sambutan pada saat pelepasan siswa angkatan saya sendiri, dan saat itupun saya merasakan begitu ketakutan saat berada di depan hadirin.
Entahlah, saya sendiri tidak tahu mengapa tiba-tiba saya seperti itu. Berawal dari situ, saya merasa semakin tidak percaya diri bila harus tampil dihadapan umum. Sehingga saya lebih memilih agar saya tidak mengundang perhatian orang lain. Saat SMP dan SMA, perasaan itu tetap ada di benak saya dan begitu mengganggu saya. Di satu sisi, sungguh sebenarnya saya ingin sekali memiliki banyak teman, namun ada perasaan yang sulit dijelaskan yang membuat saya lebih memilih untuk diam sehingga sulit sekali bagi saya untuk mengenal orang lain.
Saat kelas 3 SMA, ada tes presentasi menggunakan bahasa inggris di depan kelas, dan saya gagal sehingga saya disuruh untuk mengulang lagi setelah semua murid maju presentasi. Saya sudah menghafalkan mati-matian apa yang akan saya presentasikan, dan begitu berada di depan, semua kata-kata itu lenyap, menguap, dan yang ada dipikiran berubah menjadi ketakutan yang tidak jelas apa penyebabnya.
Perasaan takut itu begitu unik, tubuh, tangan, dan kaki saya gemetaran tanpa bisa saya kendalikan sedikitpun. Bahkan saya kurang mengerti dengan apa yang saya takutkan.
Ketika itu saya menceritakan masalah yang saya alami pada orang tua dan saya bilang bahwa saya ingin ikut hipnoterapi karena saya berpikir bahwa nantinya ketika kuliah, tentu akan jauh lebih banyak presentasi-presentasi di depan kelas. Maka, orang tua saya mencari-cari hipnoterapis, dan akhirnya kami menemukan hipnoterapis yang ada di Semarang. Sebenarnya ia adalah dokter spesialis kejiwaan (psikeater) namun ia juga mendalami ilmu hipnotis untuk memberikan hipnoterapi pada pasiennya.
Ketika bertemu dengan dokter tersebut, saya dinyatakan menderita phobia social. Apa itu?
Phobia social merupakan suatu bentuk ketakutan yang tidak masuk akal akan penghinaan publik atau malu. Orang dengan phobia social mungkin menghindari melakukan kegiatan di masyarakat misalnya berbicara di depan publik. Mereka merasa takut bila orang yang tidak mereka kenal itu menghakimi mereka dan menyebabkan kecemasan. Paling umum phobia social berkembang antara awal masa remaja sampai usia 25 tahun (Schneier et al., 1992).
Setelah mengetahui bahwa saya mengidap phobia social, saya meminta sang dokter untuk melakukan hipnoterapi. Namun, dalam waktu seminggu dari saat itu, saya akan pergi ke Bandung untuk mengikuti USM-2 ITB. Kemudian dokter itu menjelaskan, bahwa memang bisa saja ia menghipnotis saya saat itu dan menghilangkan phobia social saya saat itu juga, namun efek itu hanyalah bersifat sementara. Untuk menghilangkan phobia social di kemudian hari, tidak bisa hanya dilakukan dengan sekali terapi saja, karena memprogram ulang apa yang ada di batin bawah sadar tidak semudah membalik telapak tangan. Sehingga saya akan perlu melakukan beberapa terapi. Karena tidak mungkin bila saya nantinya harus bolak-balik Bandung-Semarang untuk melakukan terapi, saya dirujuk pada kenalan dokter itu yang ada di Bandung. Ia juga seorang dokter kejiwaan yang juga mendalami hipnoterapi.
Ketika terapi di dokter saya di Bandung, Saya menceritakan masalah yang saya hadapi dan disuruh mencoba mengingat-ingat apa penyebab saya menjadi memiliki phobia social karena seperti yang telah saya jelaskan sebelumnya bahwa ketika saya kecil faktanya saya justru suka tampil di depan publik. Maka pasti ada suatu peristiwa yang mengubah saya. Entahlah saya tidak terlalu yakin sebenarnya, namun saya merasa bahwa penyebabnya adalah kakak saya sendiri. Ketika saya kecil dan saya tampil di depan publik, maka kakak saya justru berkali-kali mengatakan "Memangnya kamu tidak malu ya diliatin banyak orang?". Kata-kata itu selalu dilontarkan ketika saya akan tampil di depan publik. Menurut dokter itu, memang bisa saja hal itulah yang menjadi pemicunya. Meskipun tidak ada niat jahat dari kakak saya yang saat itu juga masih anak-anak, namun tanpa disadari hal itu memberikan semacam sugesti pada alam bawah sadar saya bahwa saya seharusnya malu untuk tampil di depan umum. Sugesti itu berkali-kali saya terima sehingga efeknya semakin menguat dan mengakibatkan saya seperti ini.
Yang sudah terjadi ya sudah, hal itu tidak dapat diubah. Namun yang sekarang harus dilakukan adalah bagaimana saya menanamkan kembali sugesti baru agar saya tidak malu lagi tampil di depan publik. Saya diajak memikirkan kembali apa yang sebenarnya saya takutkan. Saya diajak memikirkan apa yang membuat saya malu.
Dokter: Apakah penonton itu pernah mengolok-olok anda?
Saya: Sebenarnya tidak pernah ada orang yang mengolok-olok saya.
Dokter: Lalu mengapa takut untuk tampil di depan publik? Memangnya penonton itu mau menggigit anda?
Saya: Haha, tidak tentunya.
Dokter: Apakah anda memiliki perasaan takut gagal?
Saya: Hmm, sepertinya iya.
Dan rasa takut gagal inilah yang juga bisa meningkatkan phobia social yang saya alami. Memang benar saya ingin sekali bisa mempresentasikan sesuatu atau berbicara di depan umum tanpa sedikitpun melakukan kesalahan. Dan ketika saya ketakutan dan gemetaran, saya memandang bahwa saya telah melakukan kesalahan dan gagal.
Dokter itu berkata bahwa dalam hidup ini pasti semua orang pernah melakukan kesalahan. Memang tidak ada orang yang ingin berbuat kesalahan, namun kesalahan yang muncul itu sangat wajar dan terkadang tidak dapat diduga. Tidak perlu takut berlebihan bila berbuat salah. Orang lain pun juga begitu, pernah juga berbuat salah. Mereka tidak akan menghakimimu hanya karena kamu memiliki sedikit kesalahan.
Dan untuk menghilangkan phobia ini, sebenarnya kuncinya justru ada di dalam diri saya sendiri. Saya harus menghadapi ketakutan saya itu, dan ketika perasaan takut itu muncul, kembali tanyakan pada diri saya sendiri sebenarnya apa yang saya takutkan. Dan ketika selesai tampil di depan publik, coba rasakan bahwa kenyataannya saya bisa melalui itu karena memang nyatanya tampil di depan publik bukanlah suatu hal yang perlu ditakutkan. Ternyata presentasi itu tidak sebegitu menakutkan seperti apa yang saya cemaskan sebelumnya. Tidak ada orang yang mencaci, menghakimi, dan bahkan menggigit, haha. Coba merasakan ketika penonton bertepuk tangan setelah saya presentasi, itu artinya mereka begitu menghargai saya.
Ketika saya kuliah, saya disuruh ikut berbagai unit kegiatan, terserah unit apapun itu pokoknya suatu bentuk organisasi, dan lebih sering untuk melakukan olahraga bersama dengan teman-teman karena hal itu mampu meningkatkan rasa percaya diri.
Sedikit demi sedikit, ketakutan saya mulai menghilang. Saya semakin percaya diri untuk tampil di depan publik. Saya kini mampu melakukan presentasi jauh lebih baik daripada sebelumnya. Sekarang saya lebih mudah mengenal seseorang yang baru saya temui. Kemarin, untuk pertama kalinya, saya melakukan interview di sebuah perusahaan, dan alhamdulillah saya dapat melalui interview itu dengan sangat lancar dan bahkan dengan perasaan yang amat senang.
Jadi kunci untuk menghilangkan phobia, adalah justru dengan berkali-kali menghadapi perasaan takut itu dan melawannya dengan pikiran-pikiran yang positif. Bila terus menghindar, maka perasaan takut itu justru akan semakin kuat. Namun dengan berkali-kali menghadapi ketakutan itu dan di dalam diri ada semangat yang besar untuk sembuh dari phobia itu, maka sedikit demi sedikit diri kita sendiri yang akan memberikan sugesti bahwa apa yang sangat ditakutkan selama ini ternyata tidak begitu menakutkan. Bahkan hal itu sebenarnya adalah hal yang menyenangkan.
Dengan ini, suatu saat nanti, bila saya memiliki anak, maka akan saya jelaskan semua hal ini sebelum terlambat agar apa yang saya alami tidak dialami juga oleh mereka. Dan mungkin semua yang saya ceritakan ini juga bisa menjadi pelajaran bagi anda yang membacanya.
Yang sudah terjadi ya sudah, hal itu tidak dapat diubah. Namun yang sekarang harus dilakukan adalah bagaimana saya menanamkan kembali sugesti baru agar saya tidak malu lagi tampil di depan publik. Saya diajak memikirkan kembali apa yang sebenarnya saya takutkan. Saya diajak memikirkan apa yang membuat saya malu.
Dokter: Apakah penonton itu pernah mengolok-olok anda?
Saya: Sebenarnya tidak pernah ada orang yang mengolok-olok saya.
Dokter: Lalu mengapa takut untuk tampil di depan publik? Memangnya penonton itu mau menggigit anda?
Saya: Haha, tidak tentunya.
Dokter: Apakah anda memiliki perasaan takut gagal?
Saya: Hmm, sepertinya iya.
Dan rasa takut gagal inilah yang juga bisa meningkatkan phobia social yang saya alami. Memang benar saya ingin sekali bisa mempresentasikan sesuatu atau berbicara di depan umum tanpa sedikitpun melakukan kesalahan. Dan ketika saya ketakutan dan gemetaran, saya memandang bahwa saya telah melakukan kesalahan dan gagal.
Dokter itu berkata bahwa dalam hidup ini pasti semua orang pernah melakukan kesalahan. Memang tidak ada orang yang ingin berbuat kesalahan, namun kesalahan yang muncul itu sangat wajar dan terkadang tidak dapat diduga. Tidak perlu takut berlebihan bila berbuat salah. Orang lain pun juga begitu, pernah juga berbuat salah. Mereka tidak akan menghakimimu hanya karena kamu memiliki sedikit kesalahan.
Dan untuk menghilangkan phobia ini, sebenarnya kuncinya justru ada di dalam diri saya sendiri. Saya harus menghadapi ketakutan saya itu, dan ketika perasaan takut itu muncul, kembali tanyakan pada diri saya sendiri sebenarnya apa yang saya takutkan. Dan ketika selesai tampil di depan publik, coba rasakan bahwa kenyataannya saya bisa melalui itu karena memang nyatanya tampil di depan publik bukanlah suatu hal yang perlu ditakutkan. Ternyata presentasi itu tidak sebegitu menakutkan seperti apa yang saya cemaskan sebelumnya. Tidak ada orang yang mencaci, menghakimi, dan bahkan menggigit, haha. Coba merasakan ketika penonton bertepuk tangan setelah saya presentasi, itu artinya mereka begitu menghargai saya.
Ketika saya kuliah, saya disuruh ikut berbagai unit kegiatan, terserah unit apapun itu pokoknya suatu bentuk organisasi, dan lebih sering untuk melakukan olahraga bersama dengan teman-teman karena hal itu mampu meningkatkan rasa percaya diri.
Sedikit demi sedikit, ketakutan saya mulai menghilang. Saya semakin percaya diri untuk tampil di depan publik. Saya kini mampu melakukan presentasi jauh lebih baik daripada sebelumnya. Sekarang saya lebih mudah mengenal seseorang yang baru saya temui. Kemarin, untuk pertama kalinya, saya melakukan interview di sebuah perusahaan, dan alhamdulillah saya dapat melalui interview itu dengan sangat lancar dan bahkan dengan perasaan yang amat senang.
Jadi kunci untuk menghilangkan phobia, adalah justru dengan berkali-kali menghadapi perasaan takut itu dan melawannya dengan pikiran-pikiran yang positif. Bila terus menghindar, maka perasaan takut itu justru akan semakin kuat. Namun dengan berkali-kali menghadapi ketakutan itu dan di dalam diri ada semangat yang besar untuk sembuh dari phobia itu, maka sedikit demi sedikit diri kita sendiri yang akan memberikan sugesti bahwa apa yang sangat ditakutkan selama ini ternyata tidak begitu menakutkan. Bahkan hal itu sebenarnya adalah hal yang menyenangkan.
Dengan ini, suatu saat nanti, bila saya memiliki anak, maka akan saya jelaskan semua hal ini sebelum terlambat agar apa yang saya alami tidak dialami juga oleh mereka. Dan mungkin semua yang saya ceritakan ini juga bisa menjadi pelajaran bagi anda yang membacanya.
Sebuah perjuangan penderita fobia sosial di Bandung akhirnya bisa sembuh dengan terapi ke ahli jiwa.
Teman kita yang dari Bandung membagikan kalo dia diterapi oleh dr. Arlisa (nama lengkapnya lupa), spesialis kejiwaan. beliau di Apotek Kimia Farma yang letaknya persis di perempatan
antara Jalan Dago dengan Jalan Merdeka. nomor telpon beliau:
0811226803..mungkin jika ada yang membutuhkan.
1 comments